Tergerusnya Budaya Dapat Menambah Angka Perceraian

Penulis: Sutan Siregar. Mahasiswa Program Pasca Sarjana S3 Ilmu Hukum Universitas Andalas

Didaerah kota Padangsidimpuan dominasi suku adalah suku batak yang terdiri dari batak Angkola, suku Mandailing dan batak Toba. Agama yang dianut mayoritas muslim, agama mengatur agar melaksanakan pernikahan “jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya.

Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lain.” (HR. Al Baihaqi). Islam mensyari’atkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan hak dan kewajiban suami istri dalam beberapa pasal. Atas ketidak terpenuhi kewajiban ini maka memicu terjadinya perceraian dan ditambah hilangnya budaya secara keagamaan dan budaya secara adat.

Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak. Keseimbangan dan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku.

Dalihan na Tolu adalah dasar kehidupan bagi masyarakat batak, terdiri dari (mora, kahanggi, anak boru) unsur yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Ketiganya bergerak serta saling berhubungan selaras, seimbang dan teguh oleh adanya marga dan prinsip marga.

Dalihan na Tolu berfungsi menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau kelompok orang atau mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam kehidupan adat bermasyarakat. Selain itu juga berfungsi sebagai dasar dalam bermusyawarah dan mufakat masyarakat batak.

Melalui Dalihan na Tolu kiranya dapat terpenuhinya rasa keadilan kedua belah pihak yang bersengketa sehingga bisa hidup berdampingan lagi. Dengan tercapainya rasa keadilan dari berbagai pihak terutama antara korban dan pelaku tentunya akan terciptanya kembali kerukunan dan ketertiban dalam masyarakat. Hal tersebut merupakan tujuan dari hukum itu sendiri yaitu menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Grace mengungkapkan dalam jurnalnya bahwa Dalihan na Tolu terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Sanksi yang diberikan kepada pihak yang bercerai ditentukan oleh siapa yang meminta perceraian.

Jika suami yang menginginkan perceraian maka wajib mengembalikan istri kepihak orang tuanya, dan jika istri yang menginginkan perceraian maka istri harus mengembalikan uang mahar (sinamot) yang telah diberikan pihak laki-laki.

Tetapi keluarga yang bercerai tetap masih dibutuhkan untuk adat karena pada saat anak dari keluarga yang bercerai tersebut akan menikah akan dibutuhkan keluarga dari ibunya dan agama juga mengajarkan untuk saling mengasihi.

Pelaksana hukum adat disebut Hatobangon dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung, yaitu Marga pembuka desa yang berkebumian. Seorang yang dituakan dari jajaran marga itu secara permanen menjadi Raja Panusunan Bulung.

Anggotanya adalah perwakilan setiap marga yang ada di desa tersebut. Jika ada 10 marga, maka anggotanya 10 orang. Kriterianya sama, yaitu: orang yang mempunyai sifat dan karakter yang dituakan. Pengetahuan umum, adat dan kemasyarakatan lebih baik dari lainnya.

Hatobangon dapat menjadi peradilan desa. Sebuah pelanggaran pidana atau perdata, yang terjadi di wilayah desa itu pasti diselesaikan secara adat. Pasal-pasal hukum adat, tanpa tertulis. Namun, denyut jantung kehidupan desa itu dengan presisi-presisi bisa diterapkan oleh hatobangon.

Begitu juga, pasal menimbang, atas fakta dan bukti dapat dipertimbangkan dengan “rasa keadilan” yang dimiliki masyarakat. Setiap keputusan, final and binding, incarct tanpa ada banding apalagi Kasasi atau PK (Peninjauan Kembali).

Hukum Acara itu tidak dikenal. Setiap putusan dilaksanakan dengan tulus demi untuk hidup dan kehidupan yang harmonis, apalagi berlakunya hukum adat Dalihan Natolu (DNT).

Pada saat sekarang ini hukum adat sudah mulai tergerus, hal ini terjadi karena sudah berkurangnya rasa empati untuk menghargai Mora, Kahanggi dan Anak boru (Dalihan Na Tolu) yang sudah terbentuk dari perkawinan.

Seharusnya permasalahan keluarga harus diselesaikan terlebih dahulu dilingkungan Dalihan Na Tolu dan keputusan ada pada pimpinan adat yaitu Hatobangon yang lebih mengenal siapa dan bagaimana suami istri tersebut, baik sikap, prilaku dan keadaan keluarga sebenarnya. Tentu mereka lebih mengetahui bagaimana proses mediasi yang sesuai untuk memecahkan masalah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini